Wikipedia

Hasil penelusuran

Senin, 10 Oktober 2016

Makalah Kesusastraan Bali Purwa

KATA PENGANTAR

          Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya, makalah Bahasa Bali dengan materi mengenai “Kesusastraan Bali Purwa atau Tradisional” ini dapat selesai dan terkumpul tepat pada waktunya.
         Makalah ini selain dimaksudkan untuk menyelesaikan tugas mata pelajaran Bahasa Bali Kelas XI semester 2, juga digunakan untuk menjelaskan dan menambah pengetahuan serta pemahaman mengenai Kesusastraan Bali. Makalah ini berisi referensi-referensi dari berbagai buku dan internet. Selesainya makalah ini tidak luput dari campur tangan berbagai pihak yang telah membantu. Oleh karena itu, kami selaku penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr I Wayan Rika, M.Pd selaku Kepala SMA Negeri 4 Denpasar.
2. Ibu Ayu selaku guru Mata Pelajaran Bahasa Bali kelas kami (X MIPA 6) yang memberikan tugas sekaligus membimbing dalam penyusunan makalah ini.
3. Orang tua yang selalu memberi dukungan dan doa sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat waktu.
4.  Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
          Tiada gading yang tak retak, oleh karena itu kami membuka kesempatan untuk menyampaikan kritik atau saran yang membangun dari para pembaca. Tidak lupa kami ucapankan juga terima kasih untuk para pembaca.
Akhirnya,  mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi kami sebagai penulis khususnya dan pembaca pada umumnya untuk pengembangan dan menambah pengetahuan serta pemahaman mengenai “Kesusastraan Bali Purwa atau Tradisional” yang tentunya berguna untuk kehidupan sehari-hari.

                                                                                                        Denpasar,    Maret 2016


                                                                                                               ( Kelompok Kami )


DAFTAR ISI
Kata Pengantar                                                                                                                    
Daftar Isi                                                                                                                               

BAB I :           
Ø  PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang                                                                                                        
1.2  Rumusan Masalah                                                                                                                                                              
1.3  Tujuan Penulisan                                                                                                     
1.4  Ruang Lingkup Materi                                                                                           

BAB. II :        
Ø  PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kesusastraan Bali                                                                                
2.2 Kasusastraan Bali Purwa                                                                                       
       1. Tembang                                                                                                             
       2. Gancaran                                                                                                            
  3. Palawakya                                                                                                                                  
BAB III :       
Ø  PENUTUP
3.1  Kesimpulan                                                                                                               

DAFTAR PUSTAKA




BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
                  Bali memilki sejuta budaya, di masing-masing Daerah yang ada di Bali. Dan karena itulah Bali menjadi pusat tujuan wisata internasional. Dan dengan perkembangan kepariwisataan di Bali akan  mempengaruhi budaya Bali. Pada zaman modern ini banyak orang yang mulai meninggalkan budaya Bali. Contonya para orang tua lebih banyak mengajarkan anaknya menggunakan bahasa Indonesia tidak lagi menggunakan Bahasa Daerah Bali. Kalau semua orang tua seperti itu maka lambat laun bahasa Bali akan hilang, karena kita saja sebagai orang Bali tidak mau melestarikan budaya Bali, dan siapa lagi yang kita suruh untuk melestarikannya kalau bukan kita semua. Untuk itulah kita sebagai orang Bali setidaknnya untuk belajar tentang Kesusastraan Bali. Karena Kesusastraan Bali sangat banyak dan luas. Contonya lagu-lagu dari anak-anak sampai orang tua berbeda-beda jenis nyanyiannya. Dan pada saat mengiringi upacara keagamaan juga berbeda-beda. Itu semua merupakan Budaya Bali yang perlu kita lestarikan.

1.2  Rumusan Masalah
1.2.1        Apa Pengertian dari Kesusastraan Bali Purwa?
1.2.2        Apasajakah Pembagian Kesusastraan Bali Purwa?
1.2.3        Apa saja jenis dan contoh-contoh dari bagian Kesusastraan Bali Purwa?
  
1.3  Tujuan Penulisan
1.3.1        Untuk mengetahui pengertian serta definisi Kesusastraan Bali Purwa.
1.3.2        Untuk mengetahui pembagian Kesusastraan Bali Purwa.
1.3.3        Untuk mengetahui jenis-jenis serta contoh Kesusastraan Bali Purwa.

1.4  Ruang Lingkup Materi
Ruang lingkup materi pada makalah ini adalah mengenai materi Kesusastraan Bali purwa atau klasik atau tradisional kelas IX semester II.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kasusastraan Bali 
Kasusastraan berasal dari kata sastra yang mendapat awalan su- dan konfiks ka-an sehingga menjadi ka-susastra-an. Sastra berasal dari akar kata sas yang artinya ajar dan tra yang artinya alat. Sastra berarti alat belajar atau ilmu pengetahuan (ajah-ajah). Awalan su- dalam bahasa Bali berarti baik, bagus, indah (luih/becik), sedangkan konfiks ka-an berarti keberadaan (kewentenan).
Jadi dapat di simpulkan bahwa kesusastraan bali adalah hasil karya atau cipta seorang pengarang atau pujangga yang menceritakan dinamika kehidupan masyarakat Bali serta mengandung nilai estetika yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Kesusastraan Bali dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
·         Kesusastraan Bali Purwa atau Klasik atau Tradisional
·         Kesusastraan Bali Anyar atau Modern

2.2  Kesusastraan Bali Purwa atau Klasik atau Tradisional
Kesusastraan Bali Purwa atau Klasik atau Tradisional adalah hasil karya atau cipta seorang pengarang atau pujangga yang menceritakan tentang dinamika kehidupan masyarakat Bali pada saat atau belum dipengaruhi oleh kebudayaan asing atau luar. Kesusastraan Bali Purwa dapat dibagi menjadi 3, yaitu :
1.      Tembang
2.      Gancaran
3.      Palawakya

1.   TEMBANG
Sastra Bali dalam bentuk  puisi  (tembang) ini merupakan formulasi dari sastra Bali sebagai suatu karangan dengan pola yang terikat. Seperti karakteristik puisi pada umumnya, kesusastraan Bali dalam hal ini tampil dengan suatu pola yang terstruktur oleh konvensi-konvensi tertentu yang mengikat dan memberikan karakter yang tertentu pula. Di Bali tembang dibedakan menjadi empat kelompok, yaitu:


a.     Gegendingan
Gegendingan adalah sekumpulan kalimat bebas yang dinyanyikan. Isinya pada umumnya pendek dan sederhana. Dikatakan bebas karena benar-benar tidak ada ikatannya. Antara tiap kalimat tidak harus mempunyai arti yang membentuk pengertian. Ada tiga jenis gegendingan, yaitu:
1.      Gending Rare
Gending Rare atau Sekar Rare mencakup berbagai jenis lagu-lagu anak-anak yang bernuansa permainan. Jenis tembang ini pada umumnya memakai bahasa Bali sederhana, bersifat dinamis dan riang, sehingga dapat dilagukan dengan mudah dalam suasana bermain dan bergembira. Ini juga mengajarkan anak-anak sejak usia dini bagaimana bekerja sama, serta berbahasa Bali. Biasanya tiap lagu dilengkapi atau sebagai pelengkap dari sebuah permainan (dolanan) yang bertema sama. Tetapi ada juga yang berdiri sendiri, sebagai lagu-lagu rakyat (gegendingan) yang bentuknya sangat sederhana. Baik lagu anak-anak maupun lagu rakyat tidak terlalu diikat oleh hukum atau aturan-aturan seperti Guru Lagu atau Padalingsa. Beberapa contoh tembang adalah juru pencar, jenggot uban, made cenik, mati delod pasih, Meong-meong, Ongkek-ongkek Ongke, Indang-indang Sidi, Galang Bulan, Ucung-ucung Semanggi, Pul Sinoge, dan lain-lain.
Pada jenis gending ini, ada yang seluruh baitnya merupakan isi, dan ada pula yang mengandung bait- bait sampiran bahkan ada yang hanya berupa sampiran tanpa isi yang jelas artinya.
ü  Contoh gending rare
Juru pencar, juru pencar
Jalan jani mencar ngejuk be
Be gede-gede, be gede-gede
Di sawane ajake liu
®    Lagu Juru Pencar adalah sebuah lagu sarat makna. Juru pencar di sini adalah tukang jala ikan atau nelayan dengan alat pencar yaitu sejenis jaring, untuk menangkap ikan. Di sini disiratkan bagaimana kita harus menjalani dan memilih sebuah pekerjaan nantinya sewaktu dewasa. Berangkat mencari nafkah dengan tujuan memenuhi kebutuhan. Pekerjaan ini melahirkan konsekuensi kita harus berangkat bekerja walau bagaimanapun suasana hati dan keadaan kita Be (ikan) di sini adalah peluang, peluang di kehidupan kita. Be (ikan) di sini jumlahnya banyak (ajake liu), Jadi semuanya kita bisa dapatkan tergantung seberapa keras anda berusaha dan memanfaatkan peluang di hidup kita.

2.      Gending Sanghyang
Gending Sanghyang dinyanyikan untuk menurunkan Sanghyang-sanghyang, misalnya pada prosesi budaya peninggalan zaman pra-Hindu dalam tarian sakral Sanghyang yang meliputi puspa panganjali, kukus arum, suaran kembang, Sanghyang Dedari, Sanghyang Deling, Sanghyang Jaran, Sanghyang Bojong, Sanghyang Celeng, Sanghyang Sampat, dan sebagainya.

3.      Gending Jejanggeran
Gending Jejanggeran ini sama dengan Gending Rare dan biasanya dinyanyikan secara bersama-sama dan saling sahut-menyahut satu sama lain. Contoh Gending Jejanggeran yaitu Putri Ayu, Siap Sangkur, Mejejangeran, dan lain-lain.

b.     Sekar Alit
Sekar Alit disebut juga Tembang Macapat atau Tembang alit atau tembang sinom pangkur. Kelompok Sekar Alit yang biasa disebut tembang macapat, geguritan atau pupuh terbentuk dan terikat oleh aturan-aturan padalingsa. Padalingsa adalah banyaknya suku kata dan suara vocal pada akhir kalimat dalam setiap baris, banyaknya baris dalam satu bait. Aturan-aturannya terdiri dari :
a)      Guru Wilangan : ketentuan yang mengikat jumlah baris pada setiap satu
macam pupuh (lagu) serta banyaknya bilangan suku kata pada setiap barisnya. Bila terjadi pelanggaran atas guru wilangan maka kesalahan ini disebut elung.
b)      Guru Dingdong : aturan – aturan suara vocal pada akhir suku kata dalam
tiap baris. Bila terjadi pelanggaran atas guru dingdong maka kesalahan ini disebut ngandang.
c)      Guru Gatra        : aturan – aturan banyak baris dalam tiap bait

Tentang istilah macapat yang dipakai untuk menyebut jenis tembang ini adalah sebuah istilah dari bahasa Jawa. Kelompok tembang ini disebut tembang macapat karena pada umumnya dibaca dengan sistem membaca empat-empat suku kata (ketukan)
Tembang macapat dibagi menjadi 12 bagian, yaitu :

Pupuh Sinom
Sinom Lumrah
Pelog
Sinom Wug Payangan
Slendro
Sinom dingdong
Slendro
Sinom Sasak
Slendro
Sinom Lawe
Slendro
Sinom Genjek
Pelog
Sinom Silir
Slendro
Pupuh Ginada
Ginada Basur
Slendro
Ginada Linggar Petak
Slendro
Ginada Jayapura
Slendro
Ginada Bagus Umbara
Slendro
Ginada Candrawati
Slendro
Ginada Eman-eman/Bungkling
Pelog
Pupuh Durma
Durma Lumrah
Pelog
Durma Lawe
Pelog
Pupuh Dangdang
Dangdang Gula
Pelog
Pupuh Pangkur
Pangkur Lumrah
Pelog
Pangkur Jawa / Kakidungan
Slendro
Pupuh Ginanti
Ginanti Lumrah
Pelog dan Slendro
Ginanti Pangalang
Pelog dan Slendro
Pupuh Semarandana
Semarandana Lumrah
Pelog
Semarandana Mendut
Slendro
Pupuh Pucung
Slendro dan Pelog
Pupuh Megatruh
Laras Pelog
Pupuh Gambuh
Laras Pelog
Pupuh Demung
Laras Slendro
Pupuh Adri
Laras Pelog

SUASANA
Suasana
Jenis Pupuh
aman, tenang, tentram
Sinom Lawe, Pucung, Mijil, Ginada Candrawati dan lain-lainnya
gembira, riang, meriah
Sinom Lumrah, Sinom Genjek, Sinom Lawe, Ginada Basur, Adri, Megatruh dan lain sebagainya
sedih, kecewa, tertekan
Sinom Lumrah, Sinom Wug Payangan, Semarandana, Ginada Eman-eman, Maskumambang, Demung dan lain-lainnya
marah, tegang, kroda
Durma dan Sinom Lumrah

Padalingsa
Nama Pupuh
Jumlah suku kata dan huruf hidup akhir pada setiap baris kalimat tembang beserta nomor barisnya
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Sinom
8a
8i
8a
8i
8i
8u/o
8a
8i
12a
Ginada
8a
8i
8a
8u
8a
4i
8a
Pucung
4u
8u
6a
8i
12a
Maskumambang
4a
8i
6a
8i
8a
Ginanti
8u
8i
8a
8i
8a
8i
Durma
12a
8i
8a
8a
8i
5a
8i
Pangkur
8a
12i
8u
8a
12u
8a
8i
Semarandana
8i
8a
8o
8a
8a
8u
8a
Mijil
10i
6o
4e
10e
8i
6i
8u
Magatruh
12u
8i
8u
8i
8o
Demung
12a
8i
8u
8i
8a
8u
8a
8i
8a
8u
Dangdang
14a
14e
8u
8i
8a
8u
12a
8i
8a
Adri
12u
8i
8i
12u
8u
8a/e
8u
8a
8a

Tembang macapat merupakan kasusastraan yang merupakan unsur pembentuk dalam geguritan. Geguritan adalah kakawian atau karangan yang terbentuk oleh tembang macapat. Contohnya :
a.       Geguritan Sampik Ingtai, menggunakan tembang macapat campuran, oleh Ida Ketut Sari.
b.      Geguritan Jaya Prana, menggunakan tembang macapat ginada kewanten, olih I Ketut Putra.
c.       Geguritan Basur, menggunakan  tembang ginada kemanten, oleh Ki Dalang Tangsub.
d.      Geguritan Sucita serta Subudi, menggunakan tembang macapat campuran, oleh Ida Bagus Ketut Jelantik.
e.       Geguritan Tamtam, menggunakan tembang macapat campuran, oleh I Ketut Sangging.
1.      Maskumambang
Menggambarkan bayi masih dalam kandungan ibunya, yang belum diketahui jenis kelaminnya, kumambang berarti mengambang dalam kandungan ibu.
2.      Mijil
Berarti sudah dilahirkan dan jelas laki-laki atau perempuan.
3.      Sinom
Berarti masa muda, yang paling penting untuk pemuda adalah mencari ilmu sebanyak-banyaknya.
4.      Ginanti
Dari kata kanthi atau tuntun yang berarti dituntun supaya bisa menjalani kehidupan di dunia.
5.      Asmarandana
Berarti cinta, cinta laki-laki kepada perempuan atau sebaliknya yang merupakan takdir Ilahi.
6.      Gambuh
Dari kata jumbuh / bersatu yang berarti apabila sudah bersatu dalam cinta, perempuan dan laki-laki tersebut bisa menjalani hidup bersama.
7.      Dhandhanggula
Menggambarkan kehidupan manusia dalam kebahagiaan ketika berhasil meraih cita-cita.Menemukan jodoh, melahirkan anak, kehidupan yang sejahtera.
8.      Durma
Dari kata darma / sedekah. manusia jika sudah merasa hidup cukup, dalam dirinya tumbuh rasa kasih sayang kepada sesamanya yang sedang kesusahan, sehingga akan tumbuh keinginan untuk berbagi.Hal tersebut didukung juga dari moralitas agama dan watak sosial manusia.
9.      Pangkur
Dari kata mungkur yang berarti menyingkirkan hawa nafsu angkara murka.Yang menjadi prioritas hidup adalah keinginan unutk berbagi dan peduli dengan sesama.
10.  Megatruh
Dari kata megat roh/pegat rohe atau terpisahnya nyawa, ketika takdir kematian datang.
11.  Pucung
Ketika tinggal jasad tersisa, dibungkus dengan kain mori putih atau dipocong sebelum dikuburkan.
ü  Contoh pupuh :
Sasuduk nangunang yadnya (8a)
Gama Hindu kene cening (8i)
Dewa yadnya matur baktia (8a)
Mamuja Ida Hyang Widhi (8i)
Masedana sarwa wangi (8i)
Dulurin manah rahayu (8u)
Manguncarang wedda mantra (8a)
Merihang krahayon gumi (8i)
Lunas lanus (4u)
Sarwa tumuwuh makejang (8a)
®    Makna yang terkandung dari pupuh di atas mencerminkan bagaimana cara bakti kita terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan melaksanakan Panca Yadnya, yaitu Dewa Yadnya yang di dasari dengan persembahan suci sebagai rasa syukur kita terhadap segala panugerahan-Nya. Pelaksanaan Dewa Yadnya disini juga bertujuan untuk mensejahterakan umat manusia dan keajegan umat Bali, beserta segala sesuatu yang terkandung di dalamnya.


c. Sekar Madya/Kekidungan
Disebut sekar madya karena merupakan peralihan antara sekar alit dan sekar agung. Sekar alit menonjolkan keindahan nada sedangkan sekar agung menekankan isi (tattwa agama) sedangkan sekar madya diantaranya. Sekar Madya yang meliputi jenis-jenis lagu pemujaan, umumnya dinyanyikan dalam kaitan upacara, baik upacara adat maupun agama. Kelompok tembang yang tergolong sekar madya pada umumnya mempergunakan bahasa Jawa tengahan, yaitu seperti bahasa yang dipergunakan di dalam lontar/ cerita Panji atau Malat, dan tidak terikat oleh Guru Lagu maupun Padalingsa. Yang ada di dalamnya adalah pembagian-pembagian seperti:
·         Pangawit (pembuka)
·         Pamawak (bagian yang pendek)
·         Panama (bagian yang panjang)
·         Pangawak (bagian utama dari tembang)
Tembang- tembang yang tergolong dalam kelompok ini di antaranya yang paling banyak adalah Kidung atau Kakidungan. Kidung diduga datang dari Jawa abad XVI sampai XIX akan tetapi kemudian kebanyakan ditulis di Bali. Hal ini dapat dilihat dari struktur komposisinya terbukti dengan masuknya ide-ide yang terdiri dari Pangawit, Panama dan Pangawak yang merupakan istilah-istilah yang tidak asing lagi dalam tetabuhan Bali.
Di Bali kidung-kidung selalu dilakukan dan dimainkan bersama-sama dengan instrumen. Lagu – lagu kidung ini ditulis dalam lontar tabuh-tabuh Gambang dan oleh karena itulah laras dan namanya banyak sama dengan apa yang ada dalam penggambangan, menggunakan laras pelog Saih Pitu (Pelog 7 nada) yang terdiri dari 5 nada pokok dan 2 nada pemaro/tengahan. Modulasi yaitu perubahan tangga nada ditengah-tengah lagu sangat banyak dipergunakan. Beberapa jenis kidung yang masih ada dan hidup di Bali antara lain: Aji Kembang, Kaki tua, Sidapaksa, Ranggadoja, Rangga Lawe, Pamancangah, Wargasari, Pararaton, Dewaruci, Sudamala, Alis-alis Ijo, Bhrahmana sang Uttpati, Caruk, Bhuksah, dan lain-lainnya. Selain kidung,ada pula jenis tembang lain yang dapat dimasukkan ke dalam kelompok Sekar Madya, yakni Wilet dengan jenis-jenisnya meliputi : Mayura, Jayendria, Manjangan Sluwang, Silih-asih, Sih Tan Pegat dan lain-lainnya.
ü  Macam-macam kidung sekar madya:
a.       Kidung Dewa Yadnya adalah kidung yang dipakai mengiringi upacara Dewa Yadnya.
b.      Kidung Bhuta Yadnya adalah kidung yang dipakai mengiringi upacara Bhuta yadnya.
c.       Kidung Manusa Yadnya adalah kidung yang dipakai mengiringi upacara Manusa Yadnya.
d.      Kidung Pitra Yadnya adalah kidung yang dipakai mengiringi upacara Pitra Yadnya
e.       Kidung Rsi Yadnya dalah kidung yang dipakai untuk mengiringi upacara Rsi Yadnya.

ü  Salah satu contoh kidung kawitan wargasari:
Purwakaning angripta rum ning wana ukir.
Kahadang labuh. Kartika penedenging sari.
Angayon tangguli ketur. Angringring jangga mure.
®    Arti dari kidung kawitan wargasari (pembukaan kidung warga sari) :
Purwaka (pada permulaan) ning (nya), angripta (menggugah) rum (keindahan). Ning (di) wana (hutan) ukir (pegunungan), kahadang (ketika) labuh kartika (awal musim hujan sasih kapat) panandenging sari (sedang rimbunnya berbunga) angayon (pohon) tangguli (nama sejenis akasia yang bunganya berwarna lembayung) angringring (berbentuk tirai) jangga (bunga gadung-pun) mure (sedang mekar).
Makna yang terkandung dari kidung kawitan wargasari tersebut adalah seperti itulah keindahan Pulau Bali yang mempesona sebagai ciptaan Hyang Widhi. Seperti ketika kita sedang berada di puncak Gunung Lempuyang, merenung dan terpesona oleh keindahan alam di awal musim hujan, dengan mekarnya bunga-bunga yang harum semerbak di hutan. Dalam hal ini kita sebagai umat Hindu harus lebih menjaga kelestarian hutan yang sudah dianugrahkan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa sehingga hutan-hutan di Bali jauh dari bencana alam. Kita sebagai umat harus senantiasa menjalankan Tri Hita Karana agar kehidupan kita selalu seimbang dan harmonis.
d.Sekar Agung atau Tembang Gede
          Sekar agung adalah nyanyian atau lagu-lagu atau tembang yang terkait pada suku kata dalam setiap baris (wrtta), letak guru lagu atau (matra) dan purwa kanti, tembangnya bebas asal enak didengar dan terikat dengan guru lagu, berisi ajaran agama. Meliputi lagu-lagu berbahasa kawi yang diikat oleh hukum guru lagu.
Sekar Agung (Kekawin, Tembang Gede atau Wirama) adalah kakawian atau karangan yang dibangun oleh wirama, yaitu :
1.      Kekawin Ramayana oleh Empu Yogi Swara.
2.      Kekawin Bharata Yudha oleh Empu Sedah miwah Empu Panuluh.
3.      Kekawin Arjuna Wiwaha oleh Empu Kanwa.
4.      Kekawin Sutasoma oleh Empu Tantular.
5.      Kekawin Siwaratri Kalpa oleh Empu Tanakung.
6.      Kekawin Semarandhana oleh Empu Darmaja.
7.      Kekawin Gatotkaca Sraya oleh Empu Panuluh.
8.      Kekawin Writtasancaya oleh Empu Tanakung.
9.      Kekawin Negarakethagama oleh Empu Prapanca.
10. Kekawin Kresnayana oleh Empu Triguna, Dan yang lain – lain.

Aturan – aturan pada sekar Agung :
1. Guru berarti suara berat ,suara panjang , ngilet atau panjang pendeknya suku kata yang ditembangkan. Secara harfiah guru berarti suku kata yang dinyanyikan lebih panjang dari suara gaungnya dari “lagu”.
·         Guru Haswa ( G. Bawak)
·         Guru Dirgha ( G. Panjang )
·         Guru Pluta ( G. Panjang tur ngileg )
2. Laghu berarti suara ringan , suara pendek atau suku kata yang dinyanyikan pendek.
3. Wretta berarti suku kata / gabogan wanda dalam baris
4. Matra berarti membentuk guru lagu dalam baris
5. Gaoa berarti pasang jajar guru lagu (baku bahasa bali) guru lagu yang dipasang
tiga-tiga










2.   GANCARAN
            Gancaran (prosa) adalah karya sastra yang menggunakan Bahasa Bali yang ditulis tidak mengikuti aturan-aturan dalam tembang. Gancaran (prosa) dapat dibagi menjadi :

1.      Satua.

Satua dibagi lagi menjadi 7 bagian, yakni:

1.      Manusia Dan Hewan.
Contoh : Belibis Putih, Nang Cubling, Ayam Ijo Sambu
2.      Manusia Dan Manusia.
 Contoh : I Dempuawang, Nang Bangsing Tekén I Belog
3.      Manusia Dan Dewa.
Contoh : I Raré Angon, Tosning Dadap Tosning Presi
4.      Manusia Dan Raksasa.
Contoh : I Dong Ding, I Ketimun Mas, I Gringsing Teken Ni Ranjani
5.      Hewan Dan Dewa.
Contoh :  I Cicing Gudig
6.      Hewan Dan Hewan
Contoh : I Kedis Sangsiah Teken I Bojog, Kambing Takutin Macan
7.      Hewan Dan Tumbuhan
Contoh : I Lutung teken Kakua mamaling isen, Gajah ane Nyapa Kadi Aku

2.      Babad,
Babad merupakan karya sastra, yang berarti salah satu historiografi tradisional yang merupakan karya sastra sejarah. Jika babad yang termasuk sejarah mempunyai arti kawitan atau silsilah. Sifat sifat Babad :
·         Bersifat anonim, berarti tanpa nama pengarangnya.
·         Bersifat lokal, hanya hidup dalam kelompok masyarakat tertentu.
·         Bersifat historis viktif, tentang sejarah dan kebanyakan unsur-unsur viktif di dalamnya (legendaries, mitologis, legendaries, simbolis, sugesti).
ü  contoh : Babad Brahmana, Babad Kesatria Taman Bali, Babad Pasek Gegel
3.      Mitos
Mitos adalah cerita tentang asal-usul alam semesta, manusia, atau bangsa yang diungkapkan dengan cara-cara gaib dan mengandung arti yang dalam.       
ü  Contoh : Kisah Mayadanawa, Dalem Balingkang, Sang Hyang Saab.
4.      Legenda

Legenda adalah cerita prosa rakyat yang dianggap cerita tersebut benar-benar terjadi oleh pengarang atau yang mempunyai cerita.

ü  Contoh : Kebo Iwa, Jaya Prana lan Layon Sari

5.      Prasasti

Prasasti adalah piagam atau dokumen yang ditulis pada bahan yang keras dan tahan lama.
ü  Contoh : Prasasti Bebetin, Belanjong.
6.      Epos
Terutama yang tradisional, biasanya ditulis dalam bentuk syair. Epos umumnya berisi kisah kisah yang berpusat pada tokoh tokoh yang dihadapkan pada tugas tugas mahapenting bagi alam semesta.

ü  Contoh : Mahabharata oleh Bhagawan Byasa dan Ramayana.

7.      Tantri atau sastra tulis.

ü  Contoh : Ni Diah Tantri olih I Made Pasek, Bhagawan Dharmaswami

8.     Pralambang (Basita Paribasa)
            Pralambang adalah pemanis bahasa ketika sedang berbicara atau bersenda gurau. Ada 15 macam pralambang yaitu :

a)      Sesonggan.
Sesonggan memiliki kata dasar 'ungguh', yang berarti tempat. Kruna ungguh memiliki imbuhan berupa pangiring (akhiran) "an", menjadi ungguhan yang berarti janji. Kata ungguhan kasandiang (mengalami perubahan sandi suara) menjadi unggwan. Dalam pengucapan kata unggwan bisa diucapkan unggan. Selain itu kata unggan mendapat pangater (awalan) "sa" menjadi saunggan, juga dengan kata lain menjadi songgan. Kata songgan didwipurwakan (proses pengulangan sebagian atau seluruh suku awal sebuah kata) menjadi sesonggan.

                   Sesonggan seperti perumpamaan tingkah laku manusia, dengan tingkah laku barang atau binatang. Contoh : "bedug pengorengan". Pengorengan dibangun atau keberadannya seperti bandel, dan dibengkokkan supaya sama (lurus / datar). Jadi artinya : diucapkan oleh anak yang terlalu nakal dan bandel, yang tidak bisa diberi tau.

ü  Contoh :

a.       Abias Pasih, yang berarti: tak terhingga jumlahnya ( infinite ).
b.      Aduk Sere aji keteng suks, yang berarti : dalam sebuah kelompok satu anggota yang berbuat jelek, maka kelompok tersebut di katakan jelek.

b)     Sesenggakan.
                   Sasenggakan sama seperti ibarat, dalam bahasa Indonesia. Sasenggakan, kata dasarnya "Senggak", artinya "bersinggungan" atau "Sentil" dalam percakapan. Senggak mendapat akhiran "an" menjadi senggakan, didwipurwakan menjadi "Sasenggakan" kata ungkapan, artinya "Babinjulan" membahagiakan pendengar, selagi dalam suasana sedih atau galau si pengguna sasenggakan, dapat mengalihkan pikirannya.
                   Sasenggakan juga seperti sesonggan, perbedaannya sasenggakan diawali dengan kata "Buka", dan ada yang seperti sampiran . Kalimat awal menjadi sampiran, baris belakang menjadi keterangan tingkah laku atau keadaan, kemudian dilanjutkan dengan maknanya.

ü  Contoh:

a.       Buka Besi Teken Sangihane, Pada Apesne,
sukseman ipun : sekadi anake mapakarya, sang nalih miwah sang kadalih, jaten sami-sami nelasan prabeya
b.      Buka cicinge ngongkong, tuara pingenan nyegut,
sukseman ipun : sekadi jadmane sane degag ngaku wanen, kewanten jatin ipun getap.

c)      Sesawangan (perumpamaan)
Sesawangan, kata dasarnya "sawang", artinya : mirip, mendapat akhiran "an", menjadi sesawangan, didwipurwakan menjadi "sesawangan", artinya : apa- apa saja yang terlihat, dapat dirasakan manusia , mirip dengan tingkah laku dua orang manusia, misalnya : kedapan bunga nagasarine maelogan tempuh angin, kasawangan sakadi tangan anak istri ayu ngulapin.

ü  Contoh :

1.      Rambute inggel ngredep kadi bulun jangkrik.
2.      Rarike madon intaran.
3.      Paliatne kadi tatit
4.      Isitne ngembang rijasa
5.      Tayungane kadi busunge amputang

d)     Papindan
Papindan sama dengan sesawangan akan tetapi bedanya papindan mendapat anusuara,
sementara sesawangan di dahului dengan kata buka, kadi, luir, waluya kadi.
·         Papindan         : Alise medon intara.
·         Sesawangan    : Alise buka (kadi, luir) don intaran.
                   Papindan artinya : gambaran seperti, sehingga jika dibandingkan mirip dengan...., contoh : papindan burung, artinya : bentuk gambaran mirip burung. Mapinda sedih, artinya : mirip muka anak yang sedih. Yang boleh di papindan, adalah kata nama yang berisi anusuara.

ü  Contoh:

1.      Boke malayah alu, artinya : boke mirib layah alu masepak muncuk ipun.
2.      Beragaring tulangne mamukun kalotteges, artinya : mirib bun kalot.
3.      Panyingakane nunjung biru, artinya : penyigakane mirib tunjung biru nganggo cilak.
4.      Cunguhe menyambu rakta , artinya : cunguh gede tur barak.
5.      Kumise majadengkol, artinya : kumis samah tur gelgel.
6.      Kupinge nyanggar sekar, artinya : karnane becik sumpangin sekar.
7.      Kukune memapah biu, artinya : kukune mirip papah biu, sada lengkung.
8.      Lambene barak ngatirah, artinya : lambene mirip buah katirah barak.

e)      Sasemon
Sasemon juga sama seperti sesimbing, akan tetapi lebih halus pengucapannya.
Sasemon ini ada yang membangun tembang atau gancaran seperti yang dibawah ini.

ü  Contoh : apa perlunya memelihara kayu yang seperti ini, tidak ada gunanya, hanya bisa membuat jadi susah karna menyapu sampah tiap hari.

f)       Sloka
Sloka di bahasa Indonesia sama artinya dengan “Bidal”. Sloka mirip dengan
sesonggan, maknanya juga tersembunyi. Akan tetapi bedanya adalah sloka menggunakan kata : Buka slokane,......., Buka slokan gumine,......., Kadi slokan jagate,........,miwah sane lianan.

ü  Contoh:

1.      Buka slokane tusing ada abian ane tusing misi lateng,
Artinya : nenten wenten Banjar sane nenten medaging anak sane kual
2.      Buka slokane disisine maukir di tengahne pulasan,
Artinya : pekatenan ipun ring sisine becik kewanten sujatin ipun manah nyane kaon(dusta).

g)      Sesimbing
Sesimbing merupakan kata ucapan yang sangat pedas maknanya. Membuat orang
yang disindir menjadi malu dan sedih, karena merasa dirinya disindir. Sesimbing ini sering diucapkan didepan orang yang ingin di sindir, menggunakan kata perumpamaan yang sangat tersembunyi artinya, menggunakan perumpamaan tentang dua manusia, barang atau hewan. Biasanya sesimbing menggunakan lawan kata.

ü  Contoh : orang bodoh di sindir pintar, orang curang atau malas di sindir rajin.
Ada banyak sesimbing yang membangun tembang dan gancaran, contoh : "Kadang tan tinolihin", artinya : anak yang hanya mementingkan diri sendiri, itu tidak akan perduli dengan orang orang di sekitarnya.

ü  Contoh :

1)      Be di pengorengane bang ngeleb.
Artinya : sekadi anake ngambil anak istri bajang,sampun kakening , rikala ipun lenge, anak istri punika malaib.
2)      Bas tegeh baan negak, dilabuhe baonge lung.
Artinya : sakadi anake polih pangkat tegeh, raris nyeled pipis (korupsi), ipun katara raris kausanang makarya tur ipun salah mahukum.
3)      Sadueg-dued semale makecos, pasti taen ulung,
Artinya : Asapunapi je ririh anake, pasti ipun taen iwang utawi salah.
4)      Yadin asapunapi tegeh pakeber badudane, di ulungne masih ke taine
Artinya : yadin amunapi ageng anake polih kabagian yening sampun ganti surud kasadian ipun , taler ipun mawali tiwas sekadi kuna
5)      Semunne nyukcuk langit
Artinya : kaucapan ring anake sombong.

h)     Wewangsalan
Wewangsalan puniki pateh sakadi tamsil ring Bahasa Indonesia. Wewangsalan kata
dasarnya adalah “wangsal” yang artinya alur, dapat akhiran “an” menjadi wangsalan, lalu di dwipurwakan menjadi wewangsalan, yang artinya diumpamakan perilaku dua manusia, mirip dengan sesimbing yang makna kata katanya sangat pedas.

Wewangsalan dibangun dengan dua baris kalimat. Kalimat awalnya seperti sampiran,
tentang yang ingin diucapkan akan tetapi tersembunyi. Kalimat di belakang sampiran merupakan kalimat sesungguhnya yang menerangkan artinya dan diucapkan secara berwirama atau bersajak. Ada juga yang tidak mengucapkan kalimat dibelakangnya karena dianggap semua orang sudah memahaminya.

ü  Contoh :

1.      Asep menyan maje gau , nakep lengar aji kau
2.      Be lele mawadah kau, suba jele mara tau.
3.      Bedeg majemuh bangsing di banjar , jegeg buin lemuh langsing lanjar
4.      Don sente don plindo, ade kene ade keto. 



i)        Peparikan
Peparikan sama seperti wewangsalan. Akan tetapi bedanya wewangsalan hanya 2
baris sedangkan peparikan dibangun dengan 4 baris menjadi 1 bait, juga berwirama atau purwakanti. Peparikan sama seperti majas dalam bahasa indonesia. Jika disamakan sebanding dengan pantun, dengan ri sering ditukar dengan ntun. Seperti sari dengan santun. Peparikan kata dasarnya parik berarti karang, mendapat akhiran an menjadi parikan, lalu di dwipurwakan menjadi peparikan.

ü  Contoh:

1.      Be taluh pejang jumah
Kakuana ampe-ampelan
Kaden aluh ngalih somah
Di tuane maselselan

2.      Ngalap wani ngaba bawang
Ngalap manggis empes-empesin
Anak jani tuara tawang
Ulat manis mamanesin

j)       Cecangkitan
Cecangkitan ini adalah kalimat yang arti kata nya berputar putar.. Cecangkitan ini
biasanya dipakai saat sedang bersenda gurau. Disamping itu ada juga yang dipakai untuk membodohi teman.

ü  Contoh:

a.       Di uma mula jagung atebih tusing enyak mentik
Artinya : jagung sane matebih pamula janten nyak mentik.
b.      Ngoreng Gerang pesu lengis , ngoreng muluk tusing pesu lengis
Artinya : yening ngorang Gerang pesu lengis, ngoreng muluk tusing pesu lengis.

k)     Raos ngempelin
Raos ngempelin itu adalah kata yang berdempetan, artinya : satu kata memiliki dua
arti. Yang satu merupakan arti sesungguhnya dan yang satu lagi merupakan arti kiasan. Raos ngempelin sama seperti cecangkitan hanya berbeda sedikit saja, akan tetapi maknanya sama, dan hanya dipakai saat bersenda gurau saja.

ü  Contoh:

1.      Napi kalih ditu.
2.      Jumah uyut makejang anake ningeh

l)        Cecimpedan
Cecimpedan dalam bahasa indonesia sama dengan teka teki. Cecimpedan itu
digunakan untuk pelipur lara pada saat bersenda gurau. Kata dasarnya “cimped”, mendapat akhiran “an” menjadi cimpedan, kemudian di dwipurwa kan menjadi cecimpedan yang artinya teka-teki.

ü  Contoh :
1.  Apa maglebub masuryak? Cawisannyane: danyuh.
2.  Apa maglebug nelik? Cawisannyane: pongpongan. 
3. Apa krek krek ngejohan? Cawisannyane : nak nyampat
4. Apa anak cenik ngemu getih? Cawisannyane : nyamuk
5. Apa panakne jekjek, memene sleleganne? Cawisannyane : jan
6. Apa ulung nyaup saput? Cawisannyane : durian

m)   Cecangkriman
Cecangkriman adalah cecimpedan yang berbentuk lagu atau tembang. Menggunakan
tembang madya atau pupuh. Umumnya menggunakan pupuh pucung, mungkin ada yang belum sempat membaca tentang cecimpedan.

ü  Contoh:

a)      Berag landung,
Ngelah panak cenik liu,
Memene slelegang,
Panak ne jekjek enjekin,
Menek tuun,
Mememne gelut gisiang. (Jan)

b)      Jalan buntu,
Tan masepak nolor terus,
Nyen makeneh mentas,
Apang elahang agigis,
Musti blenggu,
Majalan ditu magaang. (Titi)

c)      Kaki Pucung,
Awak bunter maretungtung,
Basange anginan,
Sing paek ye ninjakin,
Uber kepung,
I kaki incang-incangang. (Bola)

n)     Bebladbadan
Bebladbadan berasal dari kata dasar babad artinya petuah yang benar dan sudah dijalani pada kehidupan yang lampau. Setelah mendapat sisipan “el” dan akhiran “an” kemudian di dwipurwakan menjadi bebladbadan yang berarti kata yang sudah dibumbui dan biasanya bersajak.

Bebladbadan ini terdiri dari 3 baris. Baris yang pertama disebut “giing” atau “bantang” , baris yang kedua sama seperti sampiran yang bersajak, dan baris yang ke tiga adalah arti peribahasa. Misalnya :
1.         Giing (bantang) : majempong bebek,
2.         Arti sujati (sampiran) : jambul,
3.         Arti peribahasa : ngambul.
Kata "mbul" yang berasal dari kata "jambul", bersajak "mbul" pada kata "ngambul".

Bebladbadan ini mirip dengan wewangsalan diumpamakan seperti tingkah laku dua
manusia dimana sangat pedas maknanya. Akan tetapi jika seseorang berbladbadan arti sebenarnya tidak diucapkan karena dianggap semua sudah tau artinya.

ü  Contoh :

1.      Matiuk jawa = belati = ngulati     
2.      Mataluh nyuh = tombong = sombong
3.      Maabian jawa = kebon = ngebon
4.      Maadin kuud = klungah = jengah
5.      Nelungdasa lima = patsasur = ngangsur

o)      Sesapan
Sesapan artinya menyapa yang bertujuan mencari keselamatan agar tidak terkena
bencana.

ü  Contoh :

1.      Kaki-kaki Bentuyung, eda kasabanina tiang, tiang cucun kakine. Ini diucapkan ketika ada hujan lebat dan ada petir menyambar, maka karena takut diucapkanlah sesapaan tersebut.
2.      Ih, kayu sakti tiang nunas sikepan apang rahayu tiang mamargi. Diucapkan ketika akan bepergian bersama dengan anak kecil, agar dilindungi oleh Hyang Widhi. 




3.   PALAWAKYA
Palawakya merupakan karya sastra gancaran yang dibaca menurut hreswa (pendek) dan dhirga (panjang) pada labuh suara ( kata terakhir tiap baris ), yang terikat dalam tata titi membaca Basa Jawa Kuna, seperti kasusastraan Parwa yang umum terdapat pada kasusastraan epik Mahabrata dan  kanda yang berasal Ramayana.
Contoh dari Palawakya ini adalah drama. Antara drama dan sastra sangat erat hubungannya. Hampir semua drama di Bali berasal dari khasanah sastranya.
Munculnya drama dalam sastra Bali merupakan hasil ciptaan langsung sebagai karya pentas. Tidak ada drama yang merupakan hasil olahan karya sastra seperti novel. Hal ini disebabkan karena sangat sedikitnya karya prosa dalam sastra Bali.
Drama dalam kesusastraan Bali terbagi atas 2, yaitu drama Bali klasik dan modern. Unsur-unsur drama Bali klasik dapat kita lihat dari segi cerita dan suasana cerita , ilustrasi dan beberapa aspek gerak. Sedangkan unsur-unsur drama Bali modern terletak pada dialog dan tata lampu atau dekorasi.











BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Kesusastraan Bali adalah hasil karya atau cipta seorang pengarang atau pujangga yang menceritakan dinamika kehidupan masyarakat Bali serta mengandung nilai estetika yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya.
Kasusastraan di Bali dibagi menjadi 2 yaitu kasusastraan Bali Purwa (tradisional) dan kasusastraan Bali Anyar (Modern). Jenis jenis dari Kesusastraan Bali Purwa atau Klasik atau Tradisional adalah Tembang (puisi), Gancaran (Prosa), dan Palawakia (prosa liris).
Kesusastraan Bali memiliki karakteristik yang unik. Setiap karya sastranya memiliki ciri dan ketentuan khusus yang berbeda, tergantung dari jenis karya sastranya. Selain ciri dan ketentuan khusus tersebut karya sastra tentulah memiliki makna tersirat maupun tersurat yang ingin disampaikan oleh pencipta atau pengawinya. Makna tersebut akan dapat kita temukan apabila kita mempelajari, menyenangi serta memahami karya tersebut.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar